Indonesia Perlu Solusi Radikal


alt
Dalam diskusi Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan (FKSK) Rabu, 24 November lalu di Jakarta terungkap bahwa program deradikalisasi yang diluncurkan oleh pemerintah dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)  sebagai operatornya tidak lepas dari grand design AS dalam war on terrorism. Dan sasaran dari program tersebut adalah mereka yang berjuang untuk tegaknya syariah dan system pemerintahan Islam, khilafah.
   
Sehari setelah acara FKSK, sekretariat FUI mendapatkan kiriman file  presentasi program deradikalisasi oleh BNPT yang disampaikan dalam salah satu proyek sosialisasinya, yakni  di Halaqah Nasional Penanggulangan Terorisme di MUI 6 November lalu.  Setelah memaparkan kasus terorisme yang menonjol sejak Bom Natal  tahun 2000 hingga bom Marriot II tahun 2009 pada slide 2, presentasi yang disampaikan oleh Kepala BNPT Ansyaad Mbai itu pada slide 3 langsung menuding  Khilafah Islamiyah/Daulah Islamiyah dan Syariat Islam sebagai tujuan terorisme aktual.  Disebutkan bahwa itu adalah hasil investigasi alias pengakuan para teroris. 

Bagi mereka yang kurang informasi dan berfikir dangkal tentu akan serta merta menyetujui  pernyataan slide tersebut dan selanjutnya akan menyetujui sasaran program deradikalisasi, yakni pemberangusan ide-ide Islam kaffah, ideology Islam, syariat Islam, system pemerintahan Islam,  daulah khilafah Islamiyah, dan setiap gerakan yang berjuang untuk mewujudkan ide-ide Islam tersebut di tengah masyarakat muslim.
Padahal tidak ada dosa dari kelompok anak kaum muslimin itu kecuali bahwa mereka menyajikan  solusi untuk probolematika bangsanya, kaum muslim yang terbesar di dunia ini, dengan solusi Islam.  Sebab dalam pikiran Ansyaad Mbai dan orang yang serupa dengannya, tidak ada solusi Islam untuk negara ini.  Negara ini sudah final. 

Tidak ada lagi wacana yang memperbolehkan syariat Islam sebagai solusi berbagai masalah bangsa dan negara, baik dalam bidang ekonomi, politik, social budaya, dan lain-lain.  Menurut mereka, negara ini telah menganut 4 azimat negara, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.  Itu mereka artikan bukan Islam dan tidak boleh Islam.  Artinya, mereka mengharamkan adanya ide-ide dan hokum syariat Islam  dalam keempat azimat itu.  Jadi tidak boleh ada Pancasila yang Islami, UUD 1945 yang Islami, NKRI yang Islami, dan Bhineka Tunggal Ika yang Islami. 

Bahkan untuk memberikan tafsiran implementasinya saja,  seperti RUU-Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU-APP) mereka tolak habis-habisan karena mereka nilai telah memasukkan penafsiran Islam ke dalam RUU tersebut.  Mereka ingin UU di NKRI harus steril dari pikiran-pikiran syariat Islam sekalipun 90 persen penduduk NKRI adalah umat Islam. 

Alasan klasik mereka, negara kita bukan negara agama dan meskipun mayoritas, umat Islam tidak sendiri, tapi kita hidup bersama umat lain.  Kita hidup dalam masyarakat plural.  Janganlah Bhineka Tunggal Ika kita dihancurkan karena memaksakan syariat Islam, atau memaksakan RUU-APP yang mengandung muatan syariat Islam! 

Tentu saja alasan-alasan klise mereka itu bagi orang yang mau berfikir sedikit mendalam dan jernih jelas sangat lemah.  Mereka menolak masuknya syariat Islam dalam UU –bahkan belakangan mereka juga persoalkan perda-perda “syariat” di berbagai daerah—dengan alasan umat Islam, walau mayoritas, tapi bukan satu-satunya unsur dalam bangsa dan negara Indonesia.  Sementara mereka memasukkan penafsiran liberal untuk implementasi pasal 33 UUD 1945 tetang pengelolaan sumber daya alam.  Sehingga UU Migas yang menganut pikiran neo liberal mereka loloskan.  Padahal kaum neolib jumlahnya hanya segelintir orang di negeri ini.  Kenapa alasan yang sama untuk menolak syariat Islam tidak mereka terapkan kepada penafsiran kaum neoliberal?

Akhirnya dengan UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal, dan UU serupa yang berhaluan liberal tersebut para kapitalis manca negara mendapat kemudahan untuk semakin menguasai sumber-sumber kekayaan kita.  Negara kita yang punya empat azimat tersebut semakin terseret ke dalam pusaran arus ekonomi liberal yng digerakkan oleh kaum serakah dunia.  Dan dalam peta dunia kita menjadi negara obyek, bukan syubyek.   Kita menjadi negara yang kekayaannya dirampok habis-habisan, kantong kita dirogoh, bahkan keringat kita pun diperas sampai kering. 

Rakyat banyak, khususnya para  santri yang ahlu ibadat yang selama ini dibius dengan kalimat negara kita sudah final, dan waspadai gerakan trans nasional yang membawa ideology syariat,   itu tidak banyak membaca berita bahwa sudah ratusan hingga ribuan triliun kekayaan emas kita di Mimika diangkut oleh Freeport McMoran, Tambang emas kita di NTB diambil Newmont, Blok Cepu kita yang bercadangan minyak 2 milyar barrel diambil Exxon Mobil wakto Condy Rice datang, juga Blok D Natuna yang bercadangan 6 ribu Triliun dipastikan untuk AS, dan masih banyak lagi!

Semua itu dibiarkan oleh para pejabat penjaga empat azimat negara ini.  Dan empat azimat negara ini tidak pernah bisa menolak perampokan besar-besaran itu karena steril dari syariat Islam. 
Oleh karena itu, kenapa tidak kita coba syariat Islam sebagai sistem ekonomi dan pemerintahan kita terapkan untuk mencegah pembobolan berbagai kekayaan negara kita oleh asing dan para kroninya yang menguasai negara ini?  Memang itu solusi radikal.  Tapi bukankah Indonesia perlu itu?.
Muhammad Al Khaththath

Comments

Popular posts from this blog

Puisi ‘M Aan Mansyur’ Mengunjungi Museum

5 bandara terunik didunia

Debu (Ya, Benar Debu) Bulan Juli